Jumat, 03 Juli 2009

MELEPAS MASA LALU

Ada satu hal yang menjadi pikiran saya akhir-akhir ini. Sebetulnya ini adalah pergumulan yang sudah lama, mengenai kepahitanku dengan orang tua. Sebelumnya saya sudah sempat bisa mengendalikan pikiran-pikiran itu, tapi belakangan kenapa saya merasa capek dan pikiran itu mulai mengintimidasi kembali. Aku tahu bahwa sumber kelelahan ku adalah dari pikiran ku sendiri. Dari tuduhan-tuduhan yang selalu mengintimidasi ku. Sampai akhirnya aku berusaha melakukan pelepasan sesuai yang diajarkan di bukunya Dereck Prince mengenai mengusir setan-setan yang ada dalam diri kita sendiri, sesaat pikiran itu menghilang; tapi rasa capek itu selalu datang lagi dan mengintimidasi lagi.
Kita sudah terlalu sering mendengar kata kepahitan. Inti untuk menyingkirkannya adalah awareness kita bahwa Tuhan itu baik, seperti yang tertulis di dalam Ratapan 3:22-23: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”
Intinya adalah bgaimanapun masa lalu kita, kalau kita melihat ke belakang ada keputusan-2 yang keliru di masa lalu, background keluarga kita; ayat ini mengajak kita untuk tidak hidup di dalam masa lalu. Kita seringkali hidup di masa lalu sehingga hidup kita tidak bisa maju. Kita harus mengkondisikan otak kita dengan file / arsip yang positif, dimana sebenarnya otak kita memiliki dua file yaitu file yang pertama, file positif yang berisi hal-hal yang menyenagkan, yang mendatangkan sukacita, impian-impian dan semua harapan; segala sesuatu yang bisa membuat kita berharap, visi kita. Sedangkan arsip yang kedua, file negatif adalah segala hal yang mendatangkan kekecewaan, yang membuat kita sakit hati, peristiwa dukacita, membuat kita berkabung, dan mendatangkan kesedihan. Intinya adalah kita memiliki pilihan apakah otak kita mau mengakses arsip yang positif atau arsip yang negatif.
Orang yang hidup dalam kekecewaan dan kepahitan adalah orang yang tidak bisa melepas masa lalu. Pikirannya selalu diakses di arsip nomor dua yang akhirnya selalu menimbullkan self-pity yang terlalu besar dalam dirinya sendiri. Akhirnya kita tidak bisa memikirkan hal-hal yang baik yang sudah disediakan dari Tuhan. Padahal jika kita ingin hidup kita maju dan sukses, kita harus selalu memikirkan hal-hal yang baik tentang Tuhan, karena jika kita selalu memikirkan hal-hal yang negatif, kita tidak akan pernah bisa memandang bahwa Tuhan itu berdiri di depan kita, mempersiapkan suatu rencana yang indah bagi kita di hadapan kita.
Yang lebih berbahaya adalah kalau kita sudah mulai merasa nyaman dalam kondisi seperti itu. Karena apabila kita selalu menggenggam kekecewaan kemanapun kita berada, lama kelamaan itu akan menjadi identitas kita yang menempel pada diri kita. Sebagaimana orang lain memandang kita, semakin lama kita malah akan semakin merasa bahwa kekecewaan yang kita genggam dan diketahui oleh orang lain itu adalah identitas kehidupan yang harus kita jalani. Hal itulah yang seharusnya kita hindari. Kita harus memfokuskan pikiran kita, meletakkan pikiran kita secara tertib, memikirikan hal-hal yang baik yang bisa kita kerjakan di masa depan. Lebih baik memikirkan masa depan daripada masa lalu yang sudah tidak bisa kita ubah lagi. Kita harus mengambil pemikiran bahwa sebetulnya hal-hal yang tidak mengenakkan di masa lalu pun, seperti dalam roma 8:28: “…Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia…..” Bahwa pada intinya, Tuhan Yesus bisa bekerja melalui segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan melalui itu semua.
Yohanes 5:5-9: adalah cerita tentang Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang yang sakit di kolam Betesda. Yang menarik ada dalam ayat 6, dimana ysebetulnya Yesus sudah tahu bahwa dia sakit, tapi Yesus tetap mengajukan pertanyaan, “Maukah engkau sembuh?”. Itu berarti setiap orang yang mengalami sakit penyakit dan kekecewaan, tidak semua dari mereka mau sembuh. Ada orang-orang yang seringkali sudah merasa nyaman dengan identitas itu dan menikmati kenyamanan hidup dalam kepahitan atau kekecewaan yang dialaminya. Tetapi bahayanya adalah kalau kita memiliki sikap seperti ini, berarti kita punya mentalitas sebagai korban. Tujuan Tuhan bagi kita bukanlah mentalitas korban, tapi mentalitas pemenang.
Yang harus mulai kita lakukan adalah berhenti memikirkan segala hal yang membuat kita kecewa. Seperti dalam ayat 8, Tuhan Yesus berkata: “…angkatlah tilammu dan berjalanlah!”
Setiap kali pikiran masa lalu itu muncul, harus kita hentikan, karena pikiran itu sudah dikubur sebelumnya. Kita seharusnya mengambil sikap seperti yang diambil oleh Daud pada saat meratapi anaknya, hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba yang hampir meninggal. Dia berpuasa, tidak mau makan dan berdoa terus menerus; tapi pada akhirnya setelah anaknya tetap meninggal, dia meninggalkan perkabungannya, mulai meminta makan dan memakai baju kebesarannya. Sehingga pelayan-pelayannya bertanya-tanya seakan-akan Raja Daud ini tidak menyesali kepergian anaknya, tetapi Daud menjawab bahwa selagi dia masih hidup dia boleh berduka, tapi sesudah anaknya mati semuanya sudah berakhir. Sebetulnya Tuhan ingin agar sikap yang kita ambil adalah sikap yang seperti itu , “Life must go on”, jalani terus hidup ini, tidak usah menengok kembali ke masa lalau lagi. Intinya adalah forgiveness / mengampuni. Kita musti perangi dulu akarnya kenapa kita pahit atau kecewa.
Satu hal adalah kita harus belajar untuk menerima kemurahan tuhan, kasih karunia dan terpenting adalah kita harus berdamai dengan diri kita sendiri.

By: Yenny Febriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.