Minggu, 29 Maret 2009

Orang Tua ( Parent )

Pada tanggal 15 Februari 2009 di gereja tercinta MDC ( Masa Depan Cerah ) dimana saya beribadah,pada waktu penyembahan puji-pujian di putarkan sebuah video klip dimana seorang anak laki-laki usia di bawah 5 tahun sedang bermain-main di taman dengan ayahnya,anak ini bermain bola dan berputar dengan gembira,lalu tampil lagi anak kecil ini membuka tangannya lebar-lebar sambil berputar,lalu ayah anak ini datang dan memeluknya,mereka gembira sekali,setelah itu tampak anak kecil ini sudah dewasa, dia berlutut di sebuah makam yang saya duga adalah makam dari ayah anak ini,anak ini meneteskan air mata, dia tampak sangat terpukul oleh kematian ayahnya,yang menjadi pertanyaan dalam diri saya,setelah dewasa apakah dia masih sangat dekat dengan orang tuanya? Ataukah dia jauh dari orang tuanya? Apa sudah tidak ada lagi kebahagian seperti di masa kecilnya?.

Dalam pikiran saya “aku pernah mengalami hal yang sama seperti ini dulu dengan ayah saya” tapi aku sudah lama sekali tidak memeluk dia sekarang,sudah puluhan tahun.
Dengan beranjak usia saya sudah tidak lagi merasakan perasaan yang sama dimana saya merasa sangat aman berada di pelukan ayah saya,hal ini membuat aku merasa sangat sedih, kenangan itu sudah susah sekali terwujud kembali, saya merasa sangat rindu dan sayang kepada orang tua saya, yang mungkin sudah sering kali saya sakiti dan sering memberontak ataupun sering mengatakan hal-hal yang jelek kepada mereka, video klip ini sangat memukul hati saya,aku akan memperlakukan mereka dengan baik,merawat,dan menyayangi mereka ketika mereka masih ada.

Saya di lahirkan di keluarga Kong hu cu, dimana ketika ada org meninggal dunia, anak2nya akan membakar rumah2an, perabot, mobil, dan sampai boneka pembantu, supaya dapat menemani atau memberikan rumah di mana setelah mereka mati bisa dpt kemewahan, ada dalam keluarga saya disaat kakek saya masih ada, ada kakak ipar ayah saya yang sangat tidak suka kalau kakek saya tinggal bersama dengan dia, dia membangun rumah yg besar dan super mewah, tapi sebelum kakek saya meninggal dia memberitahukan kepada suaminya kalau kakek saya tidak boleh ikut tinggal di rumahnya yg besar itu, mungkin kakek saya juga mendengar hal ini, bagi org tua apabila ada anaknya yang setuju kepada istrinya melakukan hal ini, hati org tua mana yang tidak merasa sedih?
Jgn kan kakek saya, saya yang dengar aja merasa sangat marah, eh akan tetapi ketika kakek saya sudah meninggal, org ini yang mengeluarkan uang untuk membeli semua perabotan serta rumah2an lengkap dengan parabolanya untuk di bakar,dan supaya kakek saya yang sudah meninggal dapat menikmatinya di alam lain sana.

Apakah hal ini berguna?
Bagi saya sangat-sangat tidak berguna,karena kita tidak bisa menghargai orang ketika dia masih hidup,dan memberikan kebahagiaan kepada orang tua ketika mereka masih hidup.
Orang sudah meninggal kita baru berbuat baik bagi dia, ini penipuan diri yang sangat-sangat bodoh, rasa bersalah itu tidak akan hilang di hati walaupun org lain melihat kebaikan itu, tapi diri sendiri tidak akan merasa berbuat baik.
Seorang anak tidak akan merasakan sakitnya hati orang tua sebelum dia sendiri menjadi orang tua,tapi lebih parah lagi apabila kita yang sudah menjadi orang tua tapi tidak dapat mengerti dan menghargai orang tua kita sendiri.

Saya sekarang adalah org tua juga, ketika video itu di putar aku merasakan sekarang ini saya dapat mengendong anak saya, memeluk dia, memberikan keamanan kepada dia, tapi hal ini tidak akan kekal, ada pasti suatu hari aku akan pergi meningalkan dia, tapi aku tidak ingin dia merasa sedih seperti anak di video klip itu, saya tidak bisa memberikan keamanan lagi, tidak bisa menjaga dia lagi, tapi saya tahu ada seorang yang bisa memberikan keamanan bagi saya dan bagi keluarga saya, dia Yesus Kristus Allah Bapa kita, yang selalu akan menjaga kita selamanya.

Saya inginkan anak saya juga mengenal Bapanya yang sesungguhnya,teladan anak di tiru dari orang terdekatnya,apakah kita mau menjadi teladan bagi anak-anak kita?
Atau nanti anak-anak kita belajar teladan dari orang lain,baik sekali kalau benar,kalau di tiru teladan yang salah?

Kepada Papa dan Mama

Aku tidak akan mengerutu ketika aku harus menyuapimu di masa tuamu,
Karena di masa kecilku kamu juga menyuapiku dengan kasih sayangmu.

Aku tidak akan meremehkanmu ketika pikiranmu sudah tidak lagi sesehat dulu,
Karena di masa kecilku kamu juga dengan tulus mengajari dan mendidik aku.

Aku tidak akan mengeluh ketika aku harus menuntunmu di masa tuamu,
Karena di masa kecilku kamu juga menuntunku ketika aku belajar berjalan.

Aku tidak akan mengerutu ketika aku harus membiayai kamu di masa tuamu,
Karena di masa mudaku kamu telah memenuhi semua kebutuhanku.

Terima Kasih Papa dan Mama.

Selasa, 03 Maret 2009

Marah, Bukan Pemarah

Saya ingin membuka sharing kali ini dengan satu ilustrasi yang saya ambil dari buku “Rahasia Salomo”, karangan Robert Jeffress:
Seorang pria diperintahkan hakim untuk menghadiri sebuah lokakarya pengendalian kemarahan karena menganiaya pacarnya. Pria itu tiba dalam keadaan mabuk di seminar dan begitu menyebabkan kemarahan si pemimpin lokakarya sehingga si penasihat pengendalian kemarahan “meninjunya, merubuhkannya ke lantai dan terus memukulinya,” menurut laporan berita. Pria itu kemudian mati.
Kemarahan seringkali menjadi sesuatu yang begitu sukar dikendalikan, bahkan bagi seseorang yang diakui sebagai “ahli”.
Diambil dari bahasa asli Alkitab, bahasa Yunani, “marah” dibagi menjadi dua kategori:
1. Orge, yaitu marah yang berkepanjangan, dan
2. Thymon / Thumos, yaitu marah yang sekilas saja; diilustrasikan seperti nyala api yang keluar dari bahan yang mudah terbakar; cepat muncul, membesar dan cepat padam.
Marah adalah sebuah warna emosi dari manusia, sama seperti perasaan bahagia atau sedih. Marah merupakan sebuah reaksi jasmani yang normal dan semua manusia yang hidup tanpa terkecuali pasti pernah mengalaminya. Perasaan marah timbul sebagai respon emosi atas ketidakadilan yang muncul di sekeliling kehidupan kita, bisa dari internal maupun dari eksternal.
Penyebab dari eksternal bisa disebabkan karena perbuatan orang lain; perbuatan yang tidak sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Ketika seseorang mulai melanggar hak pribadi serta batas-batas emosi kita. Atau ketika kita menyaksikan kekonyolan perbuatan orang lain, mungkin bawahan kita. Penyebab eksternal yang kedua adalah kondisi atau keadaan, misalnya pada saat menghadapi jalanan yang macet. Kondisi dan situasi sekarang yang sedang kita alami yaitu krisis ekonomi juga bisa menyebabkan banyak orang menjadi mudah marah. Kemudian penyebab eksternal yang ketiga adalah karena ancaman atau bahaya, ketika seseorang mendapatkan ancaman atau hal yang membahayakan kehidupannya juga seringkali bisa menjadi pemicu munculnya amarah.
Penyebab lain adalah dari dalam diri sendiri atau penyebab dari internal; misalnya kekuatiran atau perasaan yang berlebihan; perasaan kurang percaya diri atau bisa juga karena kenangan atau trauma masa lalu. Kenangan masa lalu seringkali membuat kita menjadi over protected (terlalu berhati-hati dan berjaga-jaga) terhadap orang lain. Sebagai contoh ada orang yang latar belakang sikapnya adalah seorang yang sabar dan lemah lembut tapi sehari-harinya di perusahaan tempatnya bekerja, dia memposisikan dirinya sebagai orang yang pemarah pada saat bertemu dengan bawahannya. Ini dilakukan untuk menghindari ketidaksopanan dan sikap tidak hormat dari bawahannya.
Di dalam kitab Amsal, dalam kumpulan amsal-amsal Salomo, banyak sekali menuliskan mengenai nasihat untuk lambat-lambat marah:
Amsal 14:17
Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana bersabar.
Amsal 14:29
Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan
Amsal 15:1
Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah
Amsal 16:32
Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota.
Amsal 18:13
Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.
Amsal 19:11
Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran.
Amsal 19:19
Orang yang sangat cepat marah akan kena denda, karena jika engkau hendak menolongnya, engaku hanya menambah marahnya.
Amsal 20:3
Terhormatlah seseorang,jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.
Amsal 29:8
Pencemooh mengacaukan kota, tetapi orang bijak meredakan amarah.
Orang yang lekas naik darah, cepat marah, senang membiarkan amarahnya meledak dikatakan sebagai “orang bodoh”. Penentu keberhasilan seseorang tidak terlepas dari caranya dalam menangani amarah; karena hal menangani amarah adalah salah satu factor pendukung bagi seseorang untuk bisa mendapatkan hikmat yang benar, seperti yang tertulis dalam:
Pengkotbah 7:8b-9
Panjang sabar lebih baik dari pada tinggi hati.Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.
Sebagian orang mengaitkan kemarahan dengan tingkat kerohanian seseorang dimana seolah-olah jika ada orang yang marah adalah orang yang belum dewasa secara rohani. Bahkan ada beberapa yang mengatakan bahwa marah itu berdosa. Jika marah itu berdosa, berarti Allah kita adalah pendosa; karena marah itu adalah suatu sifat alami yang dari Allah. Dalam kitab Perjanjian Lama bisa ditemukan 455 kata marah, yang mana sebanyak 375 kali adalah merupakan kemarahan dari Allah sendiri.
Mengatakan apakah marah itu berdosa adalah sama halnya dengan menanyakan apakah kasih itu baik: Kasih terhadap Allah, terhadap orang tua dan sesama sudah pasti baik; tetapi kasih kepada pornografi, kepada materialistis sudah pasti tidak baik. Sama halnya dengan marah. Apakah marah itu berdosa atau tidak bergantung pada: sifat kemarahan, sasaran kemarahan, obyek kemarahan, cara pengungkapan serta motivasi atau tujuan dari kemarahan tersebut.
Tiga pendekatan utama / respon dalam menanggapi amarah adalah mengungkapkan, memendam, dan meredakan:
1. Memendam
Pandangan di atas bahwa orang yang mudah marah adalah orang yang belum dewasa secara rohani, seringkali membuat kita jadi memendam perasaan pada saat kemarahan itu seharusnya muncul. Padahal seharusnya penanganan dengan cara ini adalah yang paling berbahaya karena ada kecenderungan untuk menimbulkan akar dendam atau kepahitan di dalam hati yang sewaktu-waktu akan bisa meledak (bom waktu); seperti yang tertulis dalam:
Amsal 30:33
Sebab. kalau susu ditekan, mentega dihasilkan, dan kalau hidung ditekan, darah keluar, dan kalau kemarahan ditekan, pertengkaran timbul.
2. Mengungkapkan
Pengungkapan amarah tidak selalu diungkapkan dengan membentak-bentak atau dengan nada keras; pengungkapan seperti itu justru memperlihatkan bahwa orang tersebut dikuasai berlebihan oleh amarahnya. Pengungkapan amarah bisa secara ramah dan sopan serta terkontrol. Dan yang terlebih penting lagi bahwa pengungkapan amarah tersebut memiliki motif dan tujuan yang benar serta tidak ada dendam.
3. Meredakan
Respon ini adalah respon yang terbaik dalam menangani amarah, yaitu dengan menentukan pilihan kita sendiri untuk tidak menanggapi / mengikuti perasaan amarah itu dengan tidak membiarkan kesadaran kita dikuasai oleh kemarahan kita sendiri.
Pada saat diskusi, ada yang membagikan pengalamannya bahwa setiap kali rasa marah itu datang, dia selalu berkata dalam hatinya: “Marah = Bodoh; marah = Bodoh; …”. Sembari pelan-pelan amarahnya menurun, dia akan mulai memikirkan apakah motivasi kemarahannya terfokus pada diri sendiri, orang lain, atau Tuhan.
Saya menyimpulkan ada tiga motif kemarahan; yaitu mengasihi Allah, mengasihi manusia dan mengasihi diri sendiri. Sejauh kemarahan itu memiliki motivasi untuk membela kepentingan Allah atau untuk menolong sesama manusia, itu merupakan amarah yang benar, Tapi selama motivasi kemarahan itu karena mengasihi diri sendiri (merasa hak pribadinya terancam atau kuatir), maka amarah itu hanyalah amarah manusia, yang dituliskan oleh Yakobus: amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1:20). Amarah seperti ini adalah serupa dengan kekesalan Yunus (Yunus 4:1-11), dimana Allah dua kali bertanya: “layakkah engkau marah?” (Yunus 4:4,9)
Saya mengambil contoh dalam Bilangan 25:1-18 mengenai kemarahan Pinehas yang menyurutkan murka Allah: karena ia begitu giat membela kehormatan-Ku di tengah-tengah mereka, sehingga tidaklah kuhabisi orang Israel dalam cemburu-Ku (Bilangan 25:11). Kemarahan ini sama dengan kemarahan yang sama dengan yang dilakukan Tuhan Yesus di Bait Allah (Yohanes 2:13-25), yaitu untuk membela kepentingan TUHAN.
Motivasi amarah yang berlatar belakang dari mengasihi manusia adalah seperti kemarahan Tuhan Yesus kepada kedegilan hati orang Farisi yang berusaha mencari-cai kesalahan-Nya pada saat Tuhan Yesus ingin menolong orang lain (Markus 3:1-6). Atau kemarahan Yesus dalam Markus 10:14 yang disebabkan oleh murid-murid yang menghalangi anak-anak kecil datang kepada-Nya.
Berikut adalah beberapa ekspresi kemarahan:
1. Kemarahan yang meledak-ledak
Ini adalah jenis kemarahan seperti yang dituliskan di dalam Amsal 14:17, 18:13, 19:19 ; harus dikontrol
2. Kemarahan yang berdosa
Adalah kemarahan yang tertuju kepada person / orang ; tidak memiliki alasan / motivasi yang jelas ; dan untuk alasan balas dendam.
Kemarahan seperti ini harus ditahan atau dihilangkan sama sekali, karena sesuai dengan Roma 12:19 “… janganlah kamu sendiri yang menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan …”
3. Kemarahan yang dipendam
Kejengkelan yang dipendam seperti ini harus ditaklukkan untuk mencegah timbulnya bahaya yang dahsyat dengan konsekuensi satu kepahitan yang seringkali kepahitan itu menular juga terhadap lingkungan sekitar (keluarga & anak-anak).
4. Kemarahan yang suci
Kemarahan yang suci dan kudus adalah kemarahan Allah sendiri dan juga kemarahan yang ditujukan kepada dosa, ketidakbenaran, kemunafikan dan kejahatan.
Efesus 4:26,27 menuliskan: “Apabila kamu marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dikatakan: “Kalau kalian marah, janganlah membiarkan kemarahan itu menyebabkan kalian berdosa. Janganlah marah sepanjang hari supaya Iblis tidak mendapat kesempatan.”
Dari ayat tersebut sudah jelas digariskan bahwa Alkitab tidak melarang kita untuk marah, dengan batasan:
1. Jangan menyebabkan kita berdosa
Seringkali ketika kita sedang marah, kesadaran kita dikuasai oleh amarah sehingga menyebabkan kita melakukan dosa melalui kata-kata atau tindakan fisik. Amarah yang benar adalah amarah yang ditujukan kepada dosa dan dengan motivasi kasih kepada sesama.
2. Jangan marah sepanjang hari
Artinya kalau kita marah, segera selesaikan dengan orang yang bersangkutan. Jangan memendam kemarahan di dalam hati. Amarah yang disimpan di dalam hati, seringkali malah menjadi seperti bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Selain itu masalah yang tidak langsung diselesaikan bisa menjadi akar pahit.
3. Jangan beri kesempatan kepada Iblis
Amarah yang dipendam seringkali memberi kesempatan kepada Iblis untuk membisikkan lebih banyak lagi hal yang membuat kemarahan kita menjadi semakin membesar.
Saya ingin tutup dengan satu biografi penginjilan berjudul Aggie :
Sepasang suami istri dari Swedia dipanggil untuk melayani di pedalaman hutan Belgian Congo, yang sekarang disebut Zaire. Singkat cerita, David Flood dan Svea bersama anaknya David Jr, mengalami penolakan di beberapa desa yang akan mereka singgahi karena orang kulit putih dianggap akan membuat marah dewa-dewa mereka. Selama beberapa bulan, Svea yang sedang hamil bertahan melawan demam yang hebat dan tetap setia memberikan bimbingan rohani kepada satu-satunya anak kecil laki-laki penduduk asli yang dimenangkan , bertobat dan mengenal injil melalui keluarga Flood.
Sampai tiba saatnya Svea melahirkan, ia berhasil melahirkan anak perempuan. Namun akhirnya Svea meninggal dunia. David Flood sangat terpukul terhadap kejadian itu dan akhirnya timbul kekecewaan yang sangat pahit dalam hatinya terhadap Tuhan, suatu amarah yang tak sanggup dikontrolnya. David Flood dan David Jr pulang ke Swedia dan anak perempuannya yang baru saja lahir dititipkan kepada kantor misi disana.
Singkat cerita, anak kecil perempuan itu, Aggie tumbuh menjadi dewasa dan menikah dengan seorang pendeta. Suatu hari Aggie dan suaminya mendapatkan tiket pulang pergi ke Swedia dan ini merupakan kesempatan baginya untuk mencari ayahnya. Mereka melewatkan mampir ke London, dan mendengar seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang menyaksikan bahwa Tuhan sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar di Zaire; yang mana orang ini adalah bocah yang telah dilayani oleh ibunya Svea Flood.
Ia telah tumbuh menjadi seorang penginjil melayani bangsanya di Zaire dan pekerjaan Tuhan berkembang dengan pesat yang kemudian berkembang menjadi 110.000 orang Kristen, 32 pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dengan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.
Mempersingkat cerita, akhirnya Aggie bertemu dengan ayahnya dan kakak-kakaknya. David Flood, yang dulunya seorang penginjil, seorang tua yang berumur 73 tahun , menderita diabetes, stroke dan katarak, serta meninggalkan 4 anak pria (termasuk David Jr) serta satu lagi anak perempuan yang sangat membenci ayahnya.
Aggie kemudian bercerita tentang pengkotbah kulit hitam yang bertemu dengannya di London dan bagaimana Tuhan melakukan pekerjaan –pekerjaan besar melalui satu-satunya hasil pelayanan David & Svea di Belgian Congo. Seketika Roh Allah turun atasnya dan David Flood tersadar dan tidak sanggup menahan hatinya. Air mata duka cita dan pertobatan mengalir di wajahnya, Allah telah memulihkan hidupnya. Tak lama setelah pertemuan itu, David Flood meninggal. Walalupun ia telah dipulihkan untuk kembali kepada Tuhan, ia meninggalkan kehancuran. 5 anak yang semuanya tidak bertobat dan memiliki hati yang dipenuhi kekecewaan dan kepahitan.
Apabila engkau marah dan dikecewakan, jangan berikan kesempatan kepada kepahitan untuk menguasai hidupmu. Alangkah lebih baik lagi apabila kita bisa menghindari kemarahan sejauh mungkin.

By: Budi Santoso